Pustakawan: Ilmuwan Bukan Birokrat

Bookmark and Share


Menjadi “pustakawan” di Indonesia itu gampang-gampang susah. Gampangnya, pendidikan kepustakawanan mudah didapat di mana saja, bahkan pendidikan setingkat D2 pun masih ada, terutama yang diselenggarakan oleh Universitas Terbuka. Dahulu malah keterampilan perpustakaan diberikan dalam bentuk kursus. Susahnya, mendapat predikat “pustakawan” itu ternyata lain soal dengan mengecap pendidikan perpustakaan. Seorang sarjana ilmu perpustakaan bahkan tidak serta-merta menyandang profresi “pustakawan”, pun jika ia kemudian bekerja di perpustakaan, termasuk pula siapa saja yang bekerja di perpustakaan.
Istilah “pustakawan” sendiri tampaknya masih “asing” di telinga masyarakat Indonesia. Kita terbiasa menyebut mereka yang melayani kita ketika di perpustakaan dengan sebutan “petugas”, bukan “pustakawan”.
Di satu sisi, kita tidak tahu bahwa mereka sebenarnya lebih dari sekadar pekerja. Mereka adalah profesional yang memiliki pengetahuan dan keterampilan di bidang perpustakaan. Di sisi lain, kita tahu itu, bahwa perpustakaan ada ilmunya, ada sekolahnya, dan bukan semata kegiatan keterampilan seperti menjahit atau rias pengantin. Namun demikian, kita tetap menyebut mereka “petugas”, sementara kita tahu, “pustakawan” itu ada. Mengapa kita tidak menyebut mereka dengan “pustakawan”?
Barangkali, ini seperti dua hal antara penulis dan sastrawan. Mungkin semua orang bisa menulis dan dijuluki sebagai “penulis”, namun hanya orang tertentu yang layak disebut “sastrawan” meskipun tak berlatar belakang (pendidikan) sastra. Begitu pula, mungkin semua orang bisa menjadi “petugas perpustakaan” disebabkan pengetahuan dan keterampilannya di bidang perpustakaan atau karena ia bekerja di bidang perpustakaan. Namun, hanya orang tertentulah yang layak disebut “pustakawan”.
Menilik pengertiannya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pustakawan adalah ‘orang yang bergerak dalam bidang perpustakaan; ahli perpustakaan’. Jikalau begitu, cukuplah definisi ini untuk menyebut mereka yang melayani kita di perpustakaan dengan sebutan “pustakawan”. Cukup pulalah definisi ini untuk menyebut semua lulusan jurusan ilmu perpustakaan yang bekerja di bidang perpustakaan, baik dalam pemerintahan maupun swasta, dengan sebutan “pustakawan”. Namun, kenyataannya tak begitu.
Keberadaan institusi perpustakaan di negara kita, mau tidak mau, suka tidak suka, mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan perpustakaan. Katakanlah, pada akhirnya, institusi ini “mendominasi” segala kebijakan dalam bidang perpustakaan, menjadi kiblat dunia perpustakaan di negara kita. Hasilnya adalah UU No. 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan. Tak luput, perihal kepustakawanan pun diatur di dalamnya.
Satu hal yang menarik menurut saya dari peraturan pemerintah ini adalah mengenai profesi pustakawan. Saya melihat di sini bahwa kedudukan pustakawan sebagai sebuah profesi di Indonesia masih belum stabil. Di satu sisi, pemerintah melalui institusi perpustakaannya berusaha merumuskan dan menempatkan pustakawan pada posisi yang tepat. Namun, di sisi lain, banyak kebijakan yang menurut saya rancu. Dalam hal ini, saya melihat bahwa profesi pustakawan seperti terbagi menjadi dua: antara pustakawan produk institusi pemerintah dan pustakawan produk akademi.
Sebagai contoh, di perpustakaan pemerintah, profesi pustakawan dimasukkan sebagai salah satu jabatan fungsional. Ini mengindikasikan hal yang jauh sekali dari hakikat, sebab artinya, setiap pegawai yang berlatar pendidikan jurusan ilmu perpustakaan yang bekerja di perpustakaan pemerintah tersebut, tidak akan pernah “layak” menyandang predikat “pustakawan” selama ia belum mengajukan diri sebagai pejabat fungsional pustakawan. Jadi, selama itulah ia tetap  “pegawai perpustakaan” namanya, bukan “pustakawan” meskipun ia sebenarnya ahli di bidang perpustakaan.
Lainnya lagi, setiap pegawai yang berlatar pendidikan disiplin ilmu lain yang bekerja di perpustakaan pemerintah, boleh menyandang predikat “pustakawan” dengan syarat mengikuti pendidikan dan pelatihan (diklat) sebagai pustakawan. Di sini ia mempelajari ilmu perpustakaan dalam jangka waktu tertentu, yaitu hanya beberapa bulan. Jika sudah, maka ia berhak mengajukan diri sebagai “pustakawan”. Mudah sekali, bukan?
Terlepas dari itu, banyak sekali orang yang tidak memiliki latar belakang ilmu perpustakaan ditempatkan di bidang perpustakaan, seakan Indonesia tak punya lulusan jurusan ilmu perpustakaan saja. Ini seperti yang dilakukan beberapa bulan lalu oleh Jokowi yang beritanya cukup menghebohkan itu. Solusinya sebenarnya sederhana saja. Kepala perpustakaan yang baru itu perlu diikutkan diklat tenaga ahli di bidang perpustakaan sebagaimana yang diatur dalam UU Perpustakaan sebab sebenarnya perpustakaan bisa dipimpin oleh pustakawan atau tenaga ahli. Tenaga ahli di bidang perpustakaan adalah seseorang yang memiliki kapabilitas, integritas, dan kompetensi di bidang perpustakaan (UU No. 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan, Penjelasan Pasal 30). Dalam hal ini, pustakawan dan nonpustakawan tampak tak berbeda pada akhirnya, sejajar, setara. Jadi, jangan salahkan Jokowi.
Masih banyak kerancuan lainnya di perpustakaan pemerintah tentang profesi pustakawan dan ini dapat berujung ironi. Bagaimana tidak. Kembali pada faktanya, bahwa profesi pustakawan adalah (semata) jabatan fungsional di pemerintahan, tak dapat dinafikan, sangat mungkin “petugas/pegawai perpustakaan” jauh berkompeten dalam bidang perpustakaan dibandingkan “pustakawan” itu sendiri. Contoh, si A adalah lulusan jurusan ilmu perpustakaan, ahli di bidang perpustakaan, namun belum mengajukan diri sebagai pejabat fungsional pustakawan sehingga tidak disebut “pustakawan”. Sementara itu, si B adalah lulusan jurusan disiplin ilmu lain yang mengikuti diklat kepustakawanan sehingga berhak mengajukan diri sebagai pejabat fungsional pustakawan dan jadilah ia seorang “pustakawan”, padahal kompetensinya di bidang perpustakaan masih terbatas. Menurut Anda, siapa yang lebih layak disebut “pustakawan”?
Ketidakstabilan posisi pustakawan di negara kita barangkali salah satunya dipicu oleh kebijakan pemerintah melalui institusi perpustakaannya. Itulah sebabnya saya katakan di awal, menjadi “pustakawan” di Indonesia itu gampang-gampang susah. Kita bisa menjadi “pustakawan” (karbitan) dengan mudah kalau mau. Institusi perpustakaan di negara kita menyediakan fasilitas untuk itu. Syaratnya, kita bisa menjadi PNS dulu, lalu minta ditempatkan di bagian perpustakaan dan mengajukan diri untuk mengikuti diklat. Selanjutnya, daftarkan diri kita sebagai pejabat fungsional pustakawan. Maka, jadilah kita pustakawan—dengen embel-embel “karbitan”. Kita tinggal menunggu serbuan dengki dari para lulusan jurusan ilmu perpustakaan. Kata mereka, “Segampang itu mereka menjadi pustakawan, sementara kami yang pustakawan untuk mendapatkan pengakuan profesionalitas saja susah.”
Beginilah nasib profesi pustakawan di negara kita. Organisasi kepustakawanan yang ada pun tampaknya belum bisa mewadahi “legalitas” keberadaannya; apalagi bila dibandingkan dengan profesi lain yang “terakreditasi” eksistensinya, seperti dokter atau guru, pustakawan masih dipandang sebelah mata. Kekuatannya masih nanggung. Guru sudah ada sertifikasi, sedangkan untuk menjadi dokter, para sarjana kedokteran itu harus mengambil sekolah lagi (profesi) untuk mendapatkan kelayakan memperoleh status “dokter”. Apa sekalian saja profesi pustakawan itu dibuat jalur eksistensinya seperti dokter? Kenyataannya memang, di luar negeri, ilmu perpustakaan diselenggarakan bagi pendidikan tingkat master (S2). Konsep-konsep inilah yang mempengaruhi perbedaan nilai “pustawakan” di negara kita dengan negara orang. Di Indonesia, status “pustakawan” tampak sebatas birokrasi saja, padahal pustakawan itu adalah ilmuwan, bukan birokrat.
Kita tidak menyadari bahwa dampak yang dihasilkan dari semua sistem ini akan sangat besar mempengaruhi peradaban negara kita. Minat baca yang rendah, apresiasi yang kurang terhadap ilmu pengetahuan, pada akhirnya saling berkesinambungan dengan nilai “pustakawan” itu sendiri di Indonesia. Tapi, mungkin ini hanya persoalan kecil saja bagi kita yang masih butuh sandang, pangan, dan papan yang itu pun belum terpenuhi optimal. Ilmu pengetahuan adalah nomor ke sekian.
Terlepas dari itu, terlepas dari kenyataan bahwa saya adalah salah satu calon pustakawan karbitan itu, saya menyukai ilmu ini. Saya kagum pada ilmu perpustakaan ini, sambil membayangkan kegeniusan Dewey membuat sistem klasifikasi berbagai ilmu pengetahun yang ada di dunia… 



Backlink here..

{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }

Posting Komentar