Perpustakaan Digital di Sekolah

Bookmark and Share


Perpustakaan menempati posisi yang sangat penting dalam suatu kehidupan sekolah. Dari perpustakaanlah diharapkan akan muncul dukungan bagi kesuksesan teaching dan learning, serta penelitian. Namun kondisi perpustakan di Indonesia khususnya diberbagai sekolah saat ini, belum sebagaimana yang diharapkan. Perpustakaan  sebagai  suatu  institusi  pengelola  informasi  merupakan  salah  satu  bidang penerapan  teknologi  informasi  yang  berkembang  dengan  pesat.  Perkembangan  dari  penerapan teknologi informasi bisa kita lihat dari perkembangan jenis perpustakaan yang selalu berkaitan dengan teknologi  informasi,  diawali dari perpustakaan  manual, perpustakaan terotomasi, perpustakaan  hybrid, sampai  pada  perpustakaan  digital    (digital  library)  atau  cyber  library. Koleksi  perpustakaan  tidak  hanya  terbatas  pada  media  buku  saja, melainkan  mencakup  media  lainnya  seperti  majalah,  surat  kabar,  peta,  atlas,  microfilm,  CD,  piringan hitam,  tape/kaset,  slide,  dan  berbagai  macam  media  lainnya.  Sejatinya  yang  terhimpun 
dalam perpustakaan  itu  sebenarnya  adalah  kumpulan  informasi  (ilmu  pengetahuan)  yang  dihasilkan  oleh manusia  dari  waktu  ke  waktu.  Seiring  berkembangnya  teknologi  informasi  terutama  peralatan elektronik  yang  dapat  difungsikan  sebagai  komputer  dan  alat  pembaca  e-book,  semisal  Ipad,  PDA, Blackberry,  PC  tablet,  dan  lain  sebagainya.
Saat ini banyak sekolah yang mulai peduli dengan kualitas SDM para guru, sehingga mereka selalu diupgrade melalui pelatihan-pelatihan rutin. Kita sering kali berupaya memotivasi anak didik kita untuk selalu menumbuhkan minat baca mereka, namun sayangnya belum banyak sekolah yang begitu memperhatikan begitu pentingnya perpustakaan bagi sekolah. Padahal murid menerima pengetahuan paling besar dari guru hanya 20%, sisanya (80%) seharusnya menjadi tugas belajar mandiri. Tugas mandiri itu seharusnya bisa dipenuhi di perpustakaan. Oleh karena itu, Pertama perpustakaan yang baik seharusnya berisi koleksi lengkap yang mampu mengakomodir kebutuhan seluruh siswa. Kedua, membuat siswa senyaman mungkin saat berada di perpustakaan. Kenyamanan bisa timbul karena setting ruangan yang menarik, bisa juga karena bahan koleksinya lengkap dan menarik, pelayanan pustakawan yang ramah dan intelek (bisa menjawab berbagai macam kebutuhan informasi pengguna), ataupun adanya program-program dalam rangka menumbuhkan minat baca siswa (termasuk guru). Ketiga, terdapat kemudahan dari banyak siswa-siswa kita yang dapat mengakses internet fasilitas perpustakaan. Sehingga walaupun mereka berada di rumah sekalipun dapat mengakses informasi dan pengetahuan yang tersimpan dalam database perpustakaan digital tersebut. Namun, untuk menerapkan perpustakaan konsep ideal ini tentunya bukan hal yang mudah.
Sebab berdasarkan hasil temuanPhillip Rekdale pada tahun 1998-2000 dalam penelitian untuk meningkatkan mutu peran teknologi dalam pelajaran bahasa di Sekolah Menengah Umum di pulau Jawa, Bali, dan Lombok. Kondisi umum yang ditemukannya adalah biasanya tidak ada siswa-siswi di dalam perpustakaan. Perpustakaannya hanya buka pada jam kelas (paling tambah 15 menit). Guru-guru tidak secara rutin menyuruh siswa-siswi dalam jam kelas ke perpustakaan untuk tugas, mencari informasi atau solusi sendiri. Jelas, guru-guru tidak dapat minta siswa-siswi mencari informasi di perpustakaan di luar jam kelas karena perpustakaannya tidak buka. Guru-guru sendiri jarang kunjungi perpustakaan, dan kurang tahu isinya. Seringkali pengelola perpustakaan adalah guru yang juga jarang ada di perpustakaan. Pada umum, pengelola perpustakaan kelihatannya tidak mempromosikan perpustakaannya (atau berjuang untuk meningkatkan minat baca) secara aktif dan kreatif. Lingkungan sekolah (termasuk rakyat) kurang aktif membangunkan perpustakaan. Sehingga menurut beliau perpustakaan tidak lebih merupakan gudang buku belaka, hal itupun berlaku bagi perpustakaan-perpustakaan yang nyata-nyata memiliki koleksi buku yang lengkap. Tetapi apa jadinya jika perpustakaan tersebut tidak memiliki koleksi yang lengkap, tentu Anda akan dapat membayangkan perbedaan kondisinya.
Konsepsi Perpustakaan Digital
Kemudahan akses melalui perkembangan teknologi informasi saat ini, memberikan tawaran ide tentang perpustakaan digital. Konsep  dasar    perpustakaan  digital  muncul  pertama  kali  pada  bulan  Juli  1945  oleh  Vannevar Bush.  Beliau  mengeluhkan  penyimpanan  informasi  manual  yang  menghambat  akses  terhadap penelitian  yang  sudah  dipublikasikan,  untuk  itu,  Bush  mengajukan  ide  untuk  membuat  catatan  dan perpustakaan  pribadi  (untuk  buku,  rekaman/dokumentasi,  dan  komunikasi)  yang  termekanisasi.  Selama  dekade  1950-an  dan  1960-an  keterbukaan  akses  terhadap  koleksi  perpustakaan  terus diusahakan  oleh  peneliti,  pustakawan,  dan  pihak-pihak  lain,  tetapi  teknologi  yang  ada  belum  cukup menunjang.  Baru  pada  awal  1980-an  fungsi-fungsi  perpustakaan  telah  diautomasi  melalui  perangkat komputer, namun hanya pada lembaga-lembaga besar mengingat biaya investasi yang tinggi. Pada  awal  1990-an  hampir  seluruh  fungsi  perpustakaan  ditunjang  dengan  sistem  automasi dalam  jumlah  dan  cara  tertentu.  Fungsi-fungsi  tersebut  antara  lain  pembuatan  katalog,  sirkulasi, peminjaman  antar  perpustakaan,  pengelolaan  jurnal,  penambahan  koleksi,  kontrol  keuangan, manajemen  koleksi  yang  sudah  ada,  dan  data  pengguna.    Dalam  periode  ini  komunikasi  data  secara elektronik  dari  satu  perpustakaan  ke perpustakaan  lainnya  semakin  berkembang  dengan  cepat.  Tahun 1994,  Library  of  Congress  mengeluarkan  rancangan  National  Digital  Library  dengan  menggunakan tampilan  dokumen  elektronik,  penyimpanan  dan  penelusuran  teks  secara  elektronik,  dan  teknologi lainnya terhadap koleksi cetak dan non-cetak tertentu.
Tujuan  membangun  sebuah  perpustakaan  digital  dengan  semua  kelebihannya,  diantaranya adalah: 1) Mudah dan cepat dalam  mencari informasi yang dibutuhkan dan diinginkan, sehingga lebih menghemat waktu dan lebih efektif dalam memperoleh pengetahuan; 2)  Koleksi yang disimpan dalam bentuk digital/elektronik dapat dirawat jauh lebih lama dibanding sistem penyimpanan non digital yang banyak dipengaruhi faktor alam, berdampak pada biaya pengadaan koleksi yang dapat diminimumkan; 3) Perpustakaan digital tidak  memerlukan  banyak perangkat, seperti:  video player, DVD/VCD player, tape recorder, microfilm reader, dll, dikarenakan hampir seluruh media koleksi telah dikonversi dalam bentuk  digital  yang  dapat  diakses  oleh  komputer  perpustakaan;  dan  (4)  Dengan  koleksi  digital, perpustakaan  lebih  mudah  dalam  sharing  data  atau  informasi  kepada  pengguna  atau  mitra  kerja lainnya.
Tantangan Ke Depan
Membangun  perpustakaan  digital  tidak  bermasalah  selama  koleksi  yang  diterima  dan dikumpulkan  dalam  bentuk  file  digital,  tetapi  menjadi  bermasalah  apabila  perpustakaan  menerima koleksi  dalam  bentuk  tercetak  dan  dalam  jumlah  yang  banyak,  karena  akan  membutuhkan  waktu  dan tenaga juga biaya untuk proses digitalisasinya (digitalisai dokumen).  Masalah  lain dalam perpustakaan digital  yaitu teknik arsitektur yang mendasari  sebuah sistem perpustakaan  digital.    Perpustakaan  akan  membutuhkan  arsitektur  untuk  meningkatkan  dan memperbarui  teknik  artistektur  saat  ini  untuk  menyesuaikan  bahan  digital.  Arsitektur  akan  memuat komponen seperti: (a) Jaringan lokal berkecepatan tinggi dan  koneksi ke internet cepat, (b) Hubungan basis  data  yang  mendukung  variasi  format  digital,  (c)  Fulltext  search  engine  untuk  mengindeks  dan menyediakan  akses  ke  sumber  informasi,  (d)  Variasi  server,  seperti  Web  server  dan  FTP  server,  (e) Fungsi  manajemen  dokumen  elektronik  yang  akan  membantu  dalam  seluruh  manajemen  dari  sumber digital.
Masalah hak cipta (HAKI/ Hak Atas Kekayaan Intelektual) dalam Perpustakaan digital, sering menjadi  perdebatan  dan  dipermasalahkan,  tetapi  pada  dasarnya  hak  cipta  dalam  perpustakaan  digital dapat  dibedakan  menjadi  dua  bagian  yaitu:  (1)  Hak  cipta  pada  dokumen  yang  didigitalkan yang termasuk didalamnya adalah: merubah dokumen ke digital dokumen, memasukkan digital dokumen ke database,  dan  merubah  digital  dokumen  ke  hypertext  dokumen.  (2)  Hak  cipta  dokumen  di communication network. Didalam hukum hak cipta masalah transfer dokumen lewat komputer network belum didefinisikan dengan jelas. Hal yang perlu disempurnakan adalah tentang: hak meyebarkan, hak meminjamkan,  hak  memperbanyak,  hak  menyalurkan  baik  kepada  masyarakat  umum  atau  pribadi, semuanya dengan media jaringan komputer termasuk didalamnya internet, dan sebagainya.
Masalah  lain  pada  perpustakaan  digital  yaitu  penarikan  biaya;    Hal  ini  menjadi  masalah terutama  untuk  Perpustakaan  Digital  yang  dikelola  oleh  swasta  yang  menarik  biaya  untuk  setiap dokumen  yang  diakses  dan  tidak  ada  standar  biaya.  Beberapa  penelitian  pada  bidang  ini  banyak mengarah  ke  pembuatan  sistem  deteksi  pengaksesan  dokumen  ataupun  upaya  mewujudkan  electronic money.  Penarikan  biaya  pada  perpustakaan  digital  di  institusi  pemerintahanpun  seringkali  mengalami masalah karena hampir semua operasional perpustakaan digital institusi pemerintah sudah dibiayai oleh keuangan rakyat dalam hal ini pemerintah, baik itu melalui APBD, ataupun APBN. Dalam kaitan ini, perpustakaan sekolah memang bukanlah lembaga nir laba (non profit-organization) yang hanya mencari keuntungan semata. Namun, untuk mewujudkan segala seuatu seperti di atas, tentunya diperlukan biaya baik untuk mengadakan koleksi , perawatan, pelayanan, serta menggaji para pegawainya. Untuk itu, yang paling penting di sini adalah dukungan dari semua pihak. Selain pemerintah, kepala sekolah, sebagai pimpinan tertinggi sekolahan harus lebih memperhatikan keberlangsungan perpustakaan sekolah ke depan. Kepala sekolah harus bisa mencari solusi agar berangsur-angsur, perpustakaan sekolahnya bisa menggunakan teknlogi digital sesuai dengan perkembangan zaman yang ada.
Belum lagi kondisi perpustakaan digital atau yang kita kenal sebagai “Perpustakaan Online” masih belum menjadi  pilihan yang realistik untuk mayoritas siswa-siswi tingkat sekolah (atau masyarakat) di Indonesia karena mereka tidak punya komputer atau akses ke Internet di rumah. Waktu untuk menggunakan komputer di sekolah adalah sangat terbatas, dan untuk “print” (cetak) dokumen-dokomen atau ebook dari Internet adalah sangat mahal dibanding dengan pinjam buku dari perpustakaan “yang gratis”. Buku-buku di perpustakaan sekolah dapat dipinjam dan dibaca kapan saja, di mana saja (di becak, di tempat tidur), dan buku-buku perpustakaan sekolah dapat “diakses oleh semua siswa-siswi secara adil”. Ayo, membangun perpustakaan sekolah yang lengkap dengan akses di luar jam kelas. Sebab kita semua harus ingat bahwa secara umum, tujuan dari perpustakaan sekolah adalah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di lingkungan sekolah tersebut, khususnya bagi para siswa, guru, maupun karyawannya . Dengan adanya perpustakaan sekolah, maka kehausan mereka akan bacaan dapat teratasi.  Bagi mereka yang ingin mencari berbagai informasi juga bisa mendatangi tempat tersebut.  Sehuubungan dengan hal itu, maka secara eksplisit fungsi perpustakaan sekolah terbagi menjadi 4 macam, yaitu fungsi edukatif, informatif, rekreatif, dan riset/ penelitian sederhana. Keempat hal tersebut merupakan fungsi pokok daripada sebuah perpustakaan sekolah.

sumber referensi>>
http://www.pemustaka.com/menuju-perpustakaan-sekolah-digital-2010.html
http://duniaperpustakaan.com/2010/03/11/perpustakaan-digital-sebagai-solusi-keterbatasan-akses-informasi/
http://pendidikan.net/perpustakaan.html
http://www.pdii.lipi.go.id/read/2011/09/12/perpustakaan-digital-suatu-wacana-mengembangkan-perpustakaan-masa-depan-di-indonesia.html



Backlink here..

{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }

Posting Komentar