“Barangsiapa yang mencuri buku ini dari
pemiliknya, atau meminjam dan tidak mengembalikannya..semoga dia
menderita kelumpuhan, dan seluruh anggota badannya hancur. Semoga cacing
menggerogoti isi perutnya, dan ketika akhirnya dia menerima hukumannya
yang terakhir, semoga api neraka membakarnya untuk selama-lamanya.”
Kutipan yang berasal dari kutukan dalam manuskrip abad pertengahan dari
Biara San Pedro Barcelona ini, menunjukkan bahwa sejak dulu, buku atau
manuskrip, atau catatan adalah harta yang berharga.
Di perpustakaan-perpustakaan yang
memiliki koleksi-koleksi kuno, sudah terbiasa dengan para pustakawan.
Orang-orang yang mendedikasikan hidupnya untuk menjaga, merawat,
mengelola koleksi perpustakaan. Baik itu majalah, buku, naskah kuno,
manuskrip, dan catatan-catatan penting.
Menjaga ribuan buku, naskah, dan
catatan agar tetap awet sehingga bisa terus mentransfer ilmu pengetahuan
bukan hal yang mudah.
Seperti pepatah the right man in the right place,
begitulah tugas seorang pustakawan di perpustakaan. Mereka tidak asal
menata, mendata, dan menjaga buku. Semua ada ilmunya, bahkan hingga
jenjang pasca sarjana.
Alasan itulah yang membuat Tri
Lestari Megaminingsih menikmati profesinya sebagai pustakawan. Menikmati
bercengkrama dengan ribuan buku yang berjajar rapi. Mencium wangi
kertas, sampai mengakrabi debu di antara buku-buku.tak tanggung-tanggung
sudah hampir tiga dasawarsa dia menjadi seorang pustakawan. Tepatnya 29
tahun sejak pertama kali menjadi PNS di lingkungan Universitas Jember.
Tahun 1982 adalah awal segalanya.
Ketika itu, iu tiga orang anak asli Jember ini ditempatkan di
perpustakaan Unej sebagai staf perpustakaan. Ketika itu dia memang belum
menjadi seorang pustakawan. Baru setelah itu, dia mendapat kesempatan
mengikuti pendidikan tentang perpustakaan di jenjang strata satu. Saat
itu, dia sendiri sudah meraih gelar sarjana dari Jurusan FISIP Unej.
“Setelah itu saya melanjutkan ke
jenjang S 2,” katanya. Kini, dia disebut sebagai pustakawan ahli. Yakni,
pustakawan yang telah menempuh pendidikan S 1 dan S 2. Sedangkan
pustakawan terampil adalah pustakawan yang baru menempuh pendidikan
diploma.
Bukan hal mudah menjadi seorang
pustakawan selama 29 tahun. Tri Lestari telah merasakan suka dan duka
bercengkrama bersama buku-buku dan naskah kuno. Di antara sekian banyak
hal yang membuat buku atau koleksi perpustakaan menjadi rusak, mahasiswa
dianggapnya sebagai musuh terbesar.
Bukan lelucon tentu saja. Karena
masih banyak mahasiswa yang kurang menyayangi buku. Mereka menganggap
buku hanya sekadar kumpulan kalimat atau paragraph. Mereka tak pernah
berusaha memahami bahwa buku adalah sumber ilmu pengetahuan. Bahwa buku
layak diperlakukan dengan baik. “Tapi, banyak dari mereka yang menyobek
lembaran buku, mencoret-coret, bahkan mencuri,” katanya.
Prihatin itu pasti. Sebagai
pustakawan, bersama teman-temannya, Tri Lestari jelas memahami buku
lebih dari sekadar barang. Buku memiliki ceritanya sendiri. Memiliki
manfaat dan fungsinya sendiri. Sebagai pustakawan dia harus bisa menjaga
dan merawat, menjaga, dan mengatur pengelolaan buku. Tidak dengan asal,
ada banyak pelatihan yang harus dia ikuti.
Keuletan dan kesabarannya itu membuat
dia mendapatkan penghargaan sebagai pustakawan teladan pada tahun 1994.
Keberhasilan ini mengantarnya ke istana Merdeka. Mengikuti pidato
kenegaraan Presiden Suharto, dan sederet kegiatan lainnya. Pengalaman
yang mengesankan tentu saja. Bahkan, dia pernah berkesempatan berbincang
dengan Menteri Pendidikan Ing Wardiman Djojonegoro, saat itu.
Selain Tri Lestari, masih ada pustakawan Unej yang
meraih prestasi tingkat nasional. Dia adalah Mahfut, kepala
UPTperpustakaan Unej. Ditangannya perpustakaan Unej
menjadi salah satu perpustakaan yang paling diperhitungkan di Perguruan
tinggi di Indonesia. Semua itu tak lepas dari kerja kerasnya membangun
jaringan, infrastruktur dan sumberdaya perpustakaan Unej. “Dulu orang
menganggap bagian perpustakaan itu bagian buangan, tapi saya bertekad
untuk menunjukan bahwa perpustakaan pun bisa prestasi,” katanya dengan
bersemangat.
Mahfut dikenal sebagai orang yang
mencintai dunia kepustakawanan. Dengan semangat tak kenal lelah ia terus
meningkatkan kemampuan diri. Hal ini ia buktikan dengan kuliah program
pasca sarjana bidang kepustakaan di University of New South Wales di
Australia dengan konsentrasi bidang Library Science. “Buat saya kalau kita yakin, kita pasti bisa,” kata pria yang gemar membaca buku itu.
Demi membangun
perpustakaan Unej, ia tidak main-main. Selepas pulang dari Australia dia
mengikuti kompetisi proposal dana hibah bersaing untuk mengembangkan
perpustakaan Unej. “Dana dari hibah bersaing itu digunakan untuk membeli
DAINIC, software perpustakaan yang hanya Unej di jawa timur yang
menggunakannya saat itu,” katanya dengan semangat.
Atas dedikasinya yang
tak kenal lelah, pada 2003 kemarin ia diganjar juara 3 pada kompetisi
akademisi berprestasi nasional yang diselenggarakan di Jakarta.
Kemenangan itu tak diperoleh dengan percuma. Dengan konsep yang cerdas
tentang partisispasi perpustakaan dalam pendokumentasian kebudayaan
lokal. Mahfut mencetuskan ide bahwa perpustakaan Unej harus menjadi
pusat inventarisasi dan dokumentasi kebudayaan tapal kuda. Yang meliputi
kebudayaan Pendalungan, Osing dan Tenger.
Sejauh ini kebudayaan
tapal kuda yang telah ia kumpulkan meliputi; upacara adat,
mantra-mantra, naskah kuno, kuliner khas, pengobatan tradisional, tarian
dan lagu rakyat, serta kerajinan rakyat. Ia mengaku dalam melakukan
pengumpulan kebudayaan tadi tidak sendiri, namun juga dibantu para pakar
kebudayaan Unej seperti Ayu Sutarto dan Latef Wiyata.
Dengan kerja kerasnya
selama bertahun-tahun itu ia mengklaim bahwa perpustakaan Unej
merupakan pusat dokumentasi dan inventarisasi kebudayaan tapal kuda
terbesar di Indonesia. Tak main-main ia pernah menggaet Huub De Jong
penulis; Madura Dalam Empat Jaman sebagai usaha untuk mewujudkan
cita-cita itu. “Selain De Jong, ada peneliti jepang yang datang kesini
untuk belajar tentang budaya tapal kuda,” katanya.
Mahfut sendiri
terinspirasi untuk membuat pusat dokumentasi kebudayaan tapal kuda dari
perpustakaan yang ada di Australia. Saat itu ia sangat terpukau dengan
Aboriginal Collection yang disimpan di State Library of New Southwales.
“Saya masih ingat pustakawannya, Allison Crook, sejak saat itu saya
terobsesi untuk bikin yang sama di Indonesia,” katanya.
Dengan segala
pencapaiannya saat ini pak Mahfud mengaku masih belum puas. Di masa
depan ia ingin perpustakaan Unej menjadi salah satu yang terbaik di
Indonesia. Hal ini sejalan dengan cita-cita Unej sebagai World Class
University.
Sejalan dengan itu ia telah
menemukan metode yang sangat efektif yang ia sebut sebagai Library
Service Exellence Secret. Dengan metode itu ia harapkan dapat
meningkatkan kualitas pelayanan perpustakaan. “Dengan metode itu saya
mengharapkan para pustakwan akan bekerja dengan penuh dedikasi.,”
katanya dengan penuh harap.
Sayang, nasib pustakawan di mata awam tak lebih dari
sekadar penata buku. Padahal, berkat pengetahuan seorang pustakawan,
sebuah perpustakaan bisa menjaga koleksinya yang berharga. Menjaga agar
ilmu pengetahuan yang tertulis itu tetap bisa dibaca oleh
generasi-generasi berikutnya. “Kami bukan hanya sekadar penata buku.
Tapi, kami adalah pustakawan. Sebuah profesi yang diakui, bahkan ada
pendidikannya,” sambung Wahyudi, salah seorang pustakawan di
Perpustakaan Unej.
Backlink here..
{ 1 komentar... Views All / Post Comment! }
Nasib Seorang Pustakawan..Semoga Pemerintah Mendengar Rintihan Kami..Amin.
Posting Komentar